Friday, September 24, 2004

Surat untuk Bunda

Dear Bunda...

Pagi ini aku terbangun dengan sejuta gundah di hati. Memang tidak seperti biasanya, hari ini aku terjaga jauh lebih awal dari kebiasaanku.

Sampai saat aku menuliskan surat ini, 3 jam setelahnya, aku masih bisa merasakan apa yang menggangu tidurku. Rasa itu masih kuat dan menyayat... aku masih merasakan bekasnya... aku sadar, betapa dalam goresan gundahku saat ini.

Aku mungkin mencoba untuk tidak percaya pada mimpi, karena aku hanyalah manusia biasa, jauh dari kemuliaan itu. Namun tidak bisa kusangkal bahwasannya aku adalah manusia biasa yang sering bermain dengan pikiran sendiri, pengandaian yang tiada henti, hingga tidak bisa kulihat lagi antara hitam dan putihnya.

Saat ini, sangat sulit bagiku untuk kembali menggoreskan tinta pada buku yang beberapa saat yang lalu telah kucoba untuk kubuka kembali.

Dalam hatiku, kadang aku bersumpah untuk mengutuk mahluk bernama cinta ini. Dia selalu datang membawa jiwa-jiwa yang membuatku tidak bisa bernafas, membuat alamku tidak beruang, karena telah sesak dengan gundah dan pernyataan tidak menentu.

Bunda, kemarin dan hari ini, sebuah wajah telah menyapa dan seakan mengetuk pintu yang telah lama terkunci itu. Dengan sangat perlahan, celah demi celah telah terisi dengan lamunan-lamunan yang mengendap. Aku merasakan mahluk yang bernama cinta itu datang kembali dengan seribu tangannya mencengkeram tiap nadiku hingga hanya kepasrahanlah yang tertinggal.

Cerita lamunan ini dengan sangat hati-hati telah kubangun dalam kekinianku. Kutuliskan pagi yang sama dengan paginya. Kuikat malam yang sama untuk membisikkan sedikit lamunanku padanya. Kuciptakan dunia yang segaris dengannya. Dan aku pun mencoba untuk bersujud pada avatar yang sama. Aku mencoba untuk mengetuk dan meraih pintu di seberang sana itu. Aku hanya bisa berharap semua ini dapat menghilangkan gundahku dan mungkin anginnya bisa sedikit membuka celah yang tersisa di hatinya.

Namun Bunda, ketika mahluk itu membuka pintuku, tak bisa kupungkiri, beberapa gumpalan awan memaksaku untuk sekali lagi membagi gundahku. Jauh di ufuk katulistiwa, sebuah kerudung hitam tidak lagi membungkus kemurnian yang dulu kukenal. Mencoba mengabarkan tentang kepedihan, mencoba bertahan dengan sedikit yang tersisa padanya.

Bunda, aku tidak tahu harus bagaimana mengakhiri tulisan ini. Jauh di lubuk hatiku, kuingin sang waktu meninggalkanku untuk sekedar merasakan kehampaan, walaupun hanya seditik. Karena pada saat itulah aku akan kembali berpulang pada sunnahtuallah, menjadikan hitam dan putih seperti adanya. Menjadikan cinta sebagai candu untuk jiwaku ini...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home