Selama lebih kurang 18 bulan, rutinitas ke masjid kulewati dengan sebuah budaya Islam-Eropa. Sebuah kebudayaan baru dalam tatanan kehidupan ke-islaman-ku. Banyak perbedaan yang kadang membuat aku merasa canggung. Kebudayaan Turki yang pada jaman pertengahan menjadi salah satu pusat Islam di dunia telah banyak memberikan wacana baru pada kacamata sempit yang selalu saya gunakan.
Kadang aku sering berfikir, betapa beruntungnya saya bisa menyaksikan ini semua. Tak jarang pula kudapati pandangan bertanya untuk diriku, ketika aku mempertahankan kacamataku pada dunia eropa itu. Tapi toh seketika itu pula mereka mengerti, bahwa islam adalah islam. Dengan air mata kadang aku liat itu semua.
Namun hari ini, aku melihat dunia lain. Islam-Afrika. Jujur, dalam hati ini serasa tidak percaya pada apa yang aku alamin. Maroko yang secara geografis dekat dengan Saudi Arabia mungkin menjadi salah satu alasan akan ini semua. Tapi yang aku rasakan hari ini bukanlah hal yang baru, karena dalam rentang 27 tahun ini, kuhabiskan hari-hari dengan kacamata Islam-Jawa dan Islam-Arab-Indonesia.
Yang membuat aku tak bisa berkata-kata adalah karena ini semua aku alami di tanah yang “mungkin” tak mengenal satu kata Tuhan. Dimana sudah tidak jelas lagi batas antara bingkai dan gambar itu sendiri. Sebuah tanah yang dulu pernah mengukuhkan diri atas bumi katulistiwaku. Namun, aku melihat ini semua dalam sebuah bingkai kemerdekaan dengan tumpah darah, manusia yang berjalan pada bumi nya.
Namun, ketika barisan dirapatkan, dan bacaan takbir dilafalkan… Manusia hanyalah cukup untuk manusia… yang berdiri di hadapan sang Khalid-nya…
*sebuah tulisan untuk “aaaamiiiiiinnnnnnnn…….”*
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home