Kulihat bayangan orang berjubah putih dengan tasbih ditangannya. Mukanya nampak selalu tersenyum. Dari mulutnya entah sudah berapa juta istigfar diucapkan. Mereka pun bernyanyi akan kalimat-kalimat pujian dengan lantangnya. Mungkin juga telah hapal semua tulisan yang ada di Quran. Mungkin tubuhnya juga selalu terjaga akan wudlu. Suara mereka pun selalu dibuatnya merdu.
Dalam hatiku selalu bertanya, siapakah meraka itu. Mungkin aku yang aneh, mempertanyakan hal-hal seperti ini. Namun ada sesuatu dalam diriku yang rasanya berontak ketika bayangan-bayangan itu mendekat. Atau lebih tepatnya ketika aku mencoba mendekat pada mereka.
Aku selalu bertanya-tanya, apa yang salah dengan ini semua. Toh, sesekali waktu aku sengaja mencari mereka. Menjadikan meraka sebagai satu lamunan dan mungkin menirunya. Tapi aku sadar kalau saat-saat itu, aku bukanlah aku yang sesungguhnya.
Aku hanyalah seorang bilal. Aku hanyalah orang jelata pada kerajaan putih itu. Orang yang hanya mengerti warna sekitar. Memandang kesucian sebatas pada garisan hidup dan mati.
Aku tahu ini bukanlah salah dan benar, aku tahu ini bukan patut dan cela. Ini hanyalah masalah sisi dimana kita berpijak. Tak kuragukan diriku untuk bersujud pada syaf-syaf mereka walaupun pada baris terakhir.
Namun bila suatu saat nanti, aku harus menyerukan suaraku, akan kuceritakan pada mereka tentang bahasa yang kuketaui. Karena aku yakin kemurnian bukalah sesuatu yang bisa dilihat dan didengar. Terlebih lagi aku dan mereka adalah sama, hanya seorang manusia biasa.
Mungkin yang aku tulis ini belumlah cukup. Tapi setidaknya dapat memberikan aku satu keyakinan akan jalan yang aku pilih saat ini. Jalan berwarna cinta dari manusia yang juga hanya mengenal satu kata kemurnian.
Cinta itu pernah berkata padaku…
“a thousand way to Roma but only one way to heaven”