Thursday, August 19, 2004

semalam

Pagi ini aku terbangun dengan menyisakan segudang gundah dihati. Pagi, sebuah rangkaian jeda waktu yang terkait dengan sebuah awal, saat dimana manusia memulai perjalanan sebuah hari, untuk hati, diri dan mungkin dengki. Namun, pagi ini, ke-akuan-ku seakan memohon, “tak bisakah aku tak kau bawa serta, wahai sang waktu! Bolehkan aku sekedar terduduk pada rengkuhan semalam?!”

Semalam, ke-akuan-ku terkalahkan. Ke-akuan-ku tak lebih dari seorang anak kecil yang duduk di satu sudut, terpesona dan terbuai oleh malam yang berwarnakan keanggunan. Keanggunan yang sekian waktu telah terlupakan, tersisih dan tertutupi oleh kekinianku.

Keanggunan itu adalah bayangan seoarang perempuan, mahluk hawa yang penuh dengan kesederhanaan. Seperti dengan sengaja dia memikat sekitarnya dengan pesona dan wanginya.

Untukku, keindahan itu bukanlah sesuatu yang sempurna. Namun kemampuannya dalam memainkan antara keangkuhan dan kerendahan hati membuatnya seperti terbang, sangat tinggi, meninggalkan tanah dimana aku hanya bisa berpijak.

Dan dari sudut kamar ini lah, semalam, kurasakan kembali keanggunan itu.

“Keanggunan seorang wanita terletak pada keangkuahan dan kerendahan hatinya…”

Saturday, August 07, 2004

Kompas

Kompas, alat penunjuk arah. Sebuah karya cipta sederhana manusia yang telah memberikan kontribusi tak ternilai pada peradaban. Benda ini jugalah yang selalu ada di dalam saku sang Einstein. Menurut beberapa buku, banyak renungan "gila" sang Profesor yang berasal dari benda ini.

Sore ini, aku membeli sebuah kompas. Entah mengapa, tapi aku merasa sangat senang sekali. Jujur, sudah lama sekali aku menginginkan alat ini, tapi baru sekarang bisa kesampaian. Tapi, jangan buat hal ini menjadikan penghubung kesamaan antara Aku dan sang Profesor. Cara pandang kita sudah beda, apalagi kemampuan otak, jelas beda!!

Mungkin sang profesor banyak terilhami dengan bagaimana alat itu bekerja. Dan mungkin renungan-renungan ilmiah gila lainnya. Tapi aku, hanya ingin melihatnya sebagai sebuah alat. Tak lebih dari sebuah penunjuk arah.

Mungkin kegembiraanku saat ini sangatlah beralasan. Disaat aku mencoba untuk kembali melangkah, aku tidak ingin tersesat lagi. Sudah cukup rasanya diri ini berjalan tanpa mengetahui arah. Karena hanya kehampaan dan bimbang yang menjadi teman perjalananku. Aku ingin benar-benar sadar akan kekinianku.

Ada rasa aman dan tenang karena aku tahu ke arah mana harus berpaling...
Surabaya, +(-) 130 derajat...
Delft, +(-) 260 derajat...
Amsterdam, +(-) 300 derajat...

Nb; yang jelas, jauh dekat dapet korting 40% dari NS... (^_^;)

Friday, August 06, 2004

Pagi ini

Telah begitu banyak waktu yang kubuang tanpa menuliskan apa yang kurasakan, kulihat dan kurenungkan. Aku merasa terjebak dalam satu lingkaran yang sangat absurd, karena aku sendiri yang menciptakan. Kubuat batasan anatara diriku dengan kenyataan yang tiada lelahnya menjejali aku dengan kenyataan-kenyataan baru. Bersembunyi dan terus berlari.

Namun, pagi ini aku sepertinya terjaga dari semua itu. Telah begitu lama kututup jendela kamarku dari matari yang terus menyapa tanpa kenal lelah. Buaian kenyataan dan udara pagi membuat waktuku sejenak berhenti. Memberi waktu pada kekinian untuk masuk dan kembali mengisi relung yang telah lama kosong.

Pagi ini, kumohonkan satu bait kata. “Ijinkan aku melangkah kembali. Telah banyak yang kutinggalkan dan aku tahu ini bukanlah perjalanan yang mudah. Namun dengan satu langkah ini aku akan memulainya…”