Saturday, December 25, 2004

Suatu saat nanti

Kulihat bayangan orang berjubah putih dengan tasbih ditangannya. Mukanya nampak selalu tersenyum. Dari mulutnya entah sudah berapa juta istigfar diucapkan. Mereka pun bernyanyi akan kalimat-kalimat pujian dengan lantangnya. Mungkin juga telah hapal semua tulisan yang ada di Quran. Mungkin tubuhnya juga selalu terjaga akan wudlu. Suara mereka pun selalu dibuatnya merdu.

Dalam hatiku selalu bertanya, siapakah meraka itu. Mungkin aku yang aneh, mempertanyakan hal-hal seperti ini. Namun ada sesuatu dalam diriku yang rasanya berontak ketika bayangan-bayangan itu mendekat. Atau lebih tepatnya ketika aku mencoba mendekat pada mereka.

Aku selalu bertanya-tanya, apa yang salah dengan ini semua. Toh, sesekali waktu aku sengaja mencari mereka. Menjadikan meraka sebagai satu lamunan dan mungkin menirunya. Tapi aku sadar kalau saat-saat itu, aku bukanlah aku yang sesungguhnya.

Aku hanyalah seorang bilal. Aku hanyalah orang jelata pada kerajaan putih itu. Orang yang hanya mengerti warna sekitar. Memandang kesucian sebatas pada garisan hidup dan mati.

Aku tahu ini bukanlah salah dan benar, aku tahu ini bukan patut dan cela. Ini hanyalah masalah sisi dimana kita berpijak. Tak kuragukan diriku untuk bersujud pada syaf-syaf mereka walaupun pada baris terakhir.

Namun bila suatu saat nanti, aku harus menyerukan suaraku, akan kuceritakan pada mereka tentang bahasa yang kuketaui. Karena aku yakin kemurnian bukalah sesuatu yang bisa dilihat dan didengar. Terlebih lagi aku dan mereka adalah sama, hanya seorang manusia biasa.

Mungkin yang aku tulis ini belumlah cukup. Tapi setidaknya dapat memberikan aku satu keyakinan akan jalan yang aku pilih saat ini. Jalan berwarna cinta dari manusia yang juga hanya mengenal satu kata kemurnian.

Cinta itu pernah berkata padaku…
“a thousand way to Roma but only one way to heaven”

Wednesday, December 15, 2004

DAKu bertakbir...

Satu putaran waktu telah sekali lagi diberikan padaku. Perlahan di kejauhan dapat kudengar kembali kumandang takbir yang menyerukan kebesaran dan rasa kemenangan bagi umat manusia di bumi ini. Satu hari dimana manusia kembali diigatkan akan siapa dia sebenernya, untuk apa dan pada siapa mereka akan berpulang.

Dalam kekinianku ini, kembali aku menangis. Saat ini aku kembali pada titik dimana aku memulai satu perjalanan panjang, menjadi diri dan ambisi untuk menjadi seorang bilal di muka bumi ini. Mungkin ini hanya satu persinggahan sejenak yang selama satu putaran waktu ini menjadi satu angan di atas kesendirianku, saat dimana aku mulai belajar berjalan dengan kedua kakiku sendiri.

Satu persatu lembaran penuh dengan tulisan kembali terbuka. Sebagai sebuah persinggahan, titik ini menawarkan padaku tentang bayangan-bayangan dan sejarah yang tanpa bisa kutolak telah memutar kembali sebuah film kehidupan.

Dengan sangat jelas dapat kurasakan, lembaran-lembaran itu penuh dengan persimpangan dan lubang yang membuat aku harus memilih dan menghindar. Dapat kurasakan bahwa jalan itu tidaklah lurus.

Kekinianku ini sesaat telah menyeret aku kembali pada titik nol. Titik dimana aku menjadi tubuh tanpa ruh dan hati. Tiap kenangan seperti berebut tempat untuk mengisi diri ini dengan semua catatan masa lalu. Sesaat aku sempat untuk menyerah. Karena aku hanya manusia biasa yang jauh dari diri yang bersih dan tegar.

Namun, di tengah kegundahan hati ini, perlahan sebuah wajah datang menyapaku. Sebuah wajah dari dunia impian yang mengingatkan pada sebuah kenyataan. Memberikan dian pelita pada diri ini untuk keluar dari lingkaran ini. Mengingatkan ku pada apa yang telah aku raih. Sebuah kenyataan diatas kaki ku, dimana aku bisa berjalan dan berdiri.

Sebuah wajah sederhana yang perlahan telah mengukuhkan dirinya menjadi seorang bunda bagi kekinianku. Wajah itu telah menjadi bunda yang menemani dan mengisi kekinianku, mengingatkanku pada esok dimana sebuah tanggung jawab adalah warnanya dan mendampingiku melihat masa lalu tanpa harus takut untuk tidak dapat kembali.

Wajah itu adalah kebesaran kesederhanaan, sebuah warna pada ketulusan dan kesucian, karena dia datang beriringkan kumandang takbir. Tulus dan suci.

DAKu pun bertakbir…
(Surabaya, 14 November 2004)