Thursday, September 30, 2004

Surat untuk Bunda (2)...

Dear Bunda,

Mungkin Tuhan menampakan wujudnya sekali lagi padaku. Mungkin memang aku harus menyempurnakan bacaanku dengan tuntas sebelum semua ini akan menjadi milikku. Mungkin memang benar bila aku hanyalah seorang Bilal yang akan bahagia bila saatnya nanti tiba. Namun saat ini aku juga menjadi ragu, apakah aku pantas walaupun untuk sekedar menjadi Bilal, Bunda?

Bunda, belum lama, mungkin beberapa hari yang lalu, telah kukabarkan padamu tentang lamunan-lamunan sebuah wajah. Telah kuberitakan bagaimana pintu hati ini dengan perlahan kubuka untuk satu rasa, cita, cipta dan buihan cinta. Kulukiskan pula padamu kegundahan yang menyelimuti, penisbihan akan sebuah rasa pengharapan dan beberapa gumpalan awan yang menyertai.

Bunda, masih bisa kurasakan warna dan wanginya. Sebuah keanggunan yang terbungkus kesederhanaan. Seorang hawa yang mampu memainkan kerendahan dan keangkuhan hatinya. Dihatiku, aku masihlah anak kecil untuknya. Anak kecil yang merasa telah menemukan tempatnya untuk berlindung. Setidaknya sebuah hati yang bisa membawanya pulang.

Namun Bunda, anak kecil itu saat ini tengah menagis. Karena mungkin sebentar lagi, semua yang diinginanya itu hanya akan bisa di simpannya dalam hati, menjadi satu lagi lembaran yang harus ditutupnya. Menjadi satu kenangan.

Bunda, apakah aku memang harus seperti ini? Mengapa kau tunjukkan padaku sebuah cinta yang terlarang. Tak pantaskah aku untuk merasakan sebuah mahluk yang berjubah kebahagian, berkaki harapan, bertangan kesetiaan dan berhatikan kemuliaan?! Sebuah mahluk yang selama ini kau ajarkan padaku dengan nama cinta, Bunda.

Bunda, berdosakan aku kepadamu? Masih adakah kiranya dosa-dosaku yang belum kau maafkan? Apakah kau, Bunda, memelihatku sebagai anak kecil yang belum pantas untuk bahagia? Murkamu adalah murka Nya, Bunda. Maafkan aku, Bunda.

Bunda, sudikah kau mendengar ceritaku kali. Dia bukanlah kau, Bunda. Bunda tetaplah Bunda dalam diriku. Tak akan pernah kusamakan Dia dengan mu, Bunda. Tapi, Dia lah yang mungkin akan menjadi sepertimu, menjadi bunda bagi kekinianku, walaupun itu nanti, bila saatnya tiba.

Bunda, sejujurnya, aku tidak tahu harus bagaimana. Haruskah kucoba untuk terus bertahan pada cinta ini? Bertahan pada kemurnian yang telah kucoba untuk kubangun berserta harapan yang kusisipi dengan sebait doa.

Bunda, biarlah kututup malam ini dalam dekapanmu. Melewati jedah waktu yang mungkin dapat sekedar memberiku kekuatan menjelang hari esok, mengais serpihan harapan yang tersisa. Sebuah cinta…

Friday, September 24, 2004

Surat untuk Bunda

Dear Bunda...

Pagi ini aku terbangun dengan sejuta gundah di hati. Memang tidak seperti biasanya, hari ini aku terjaga jauh lebih awal dari kebiasaanku.

Sampai saat aku menuliskan surat ini, 3 jam setelahnya, aku masih bisa merasakan apa yang menggangu tidurku. Rasa itu masih kuat dan menyayat... aku masih merasakan bekasnya... aku sadar, betapa dalam goresan gundahku saat ini.

Aku mungkin mencoba untuk tidak percaya pada mimpi, karena aku hanyalah manusia biasa, jauh dari kemuliaan itu. Namun tidak bisa kusangkal bahwasannya aku adalah manusia biasa yang sering bermain dengan pikiran sendiri, pengandaian yang tiada henti, hingga tidak bisa kulihat lagi antara hitam dan putihnya.

Saat ini, sangat sulit bagiku untuk kembali menggoreskan tinta pada buku yang beberapa saat yang lalu telah kucoba untuk kubuka kembali.

Dalam hatiku, kadang aku bersumpah untuk mengutuk mahluk bernama cinta ini. Dia selalu datang membawa jiwa-jiwa yang membuatku tidak bisa bernafas, membuat alamku tidak beruang, karena telah sesak dengan gundah dan pernyataan tidak menentu.

Bunda, kemarin dan hari ini, sebuah wajah telah menyapa dan seakan mengetuk pintu yang telah lama terkunci itu. Dengan sangat perlahan, celah demi celah telah terisi dengan lamunan-lamunan yang mengendap. Aku merasakan mahluk yang bernama cinta itu datang kembali dengan seribu tangannya mencengkeram tiap nadiku hingga hanya kepasrahanlah yang tertinggal.

Cerita lamunan ini dengan sangat hati-hati telah kubangun dalam kekinianku. Kutuliskan pagi yang sama dengan paginya. Kuikat malam yang sama untuk membisikkan sedikit lamunanku padanya. Kuciptakan dunia yang segaris dengannya. Dan aku pun mencoba untuk bersujud pada avatar yang sama. Aku mencoba untuk mengetuk dan meraih pintu di seberang sana itu. Aku hanya bisa berharap semua ini dapat menghilangkan gundahku dan mungkin anginnya bisa sedikit membuka celah yang tersisa di hatinya.

Namun Bunda, ketika mahluk itu membuka pintuku, tak bisa kupungkiri, beberapa gumpalan awan memaksaku untuk sekali lagi membagi gundahku. Jauh di ufuk katulistiwa, sebuah kerudung hitam tidak lagi membungkus kemurnian yang dulu kukenal. Mencoba mengabarkan tentang kepedihan, mencoba bertahan dengan sedikit yang tersisa padanya.

Bunda, aku tidak tahu harus bagaimana mengakhiri tulisan ini. Jauh di lubuk hatiku, kuingin sang waktu meninggalkanku untuk sekedar merasakan kehampaan, walaupun hanya seditik. Karena pada saat itulah aku akan kembali berpulang pada sunnahtuallah, menjadikan hitam dan putih seperti adanya. Menjadikan cinta sebagai candu untuk jiwaku ini...

Thursday, September 09, 2004

Kerudung Hitam

“Kerudung hitam itu telah membuat aku sadar akan harapan dan nilai cinta yang dibungkusnya. Menutupi dan menjaga harapan yang memang indah adanya. Namun keindahan dan harapan tidak mungkin bersatu untuk ku seorang. Jangan KAU siksa kemurnian yang bersembunyi didalam naungan sang kerudung itu. Buatlah dia bahagia..., seputih bulan yang kupandang tiap malam dari sudut kamarku. Menitipkan padanya seuntai kalimat doa dan ampunan, untukku dan untuknya…”

Sebuah bait cuplikan dari chapter lama yang dengan sengaja terlintas. Sebuah bait yang dulu kutuliskan pada akhir chapternya…

Monday, September 06, 2004

Manusia dan "buku" ku...

Manusia adalah sebuah buku. Sebuah rangakaian yang tertulis pada dirinya. Disadari ataupun tidak, manusia menuliskan sejarahnya sendiri, pada dirinya sendiri, dengan sangat teliti, karena waktu adalah pemandunya.

Saat ini, aku sedang mencoba menuliskan satu chapter baru pada buku ku. Chapter ini mempunyai judul yang telah beberapa kali kucoba untuk kutuliskan. Namun, chapter-chapter itu saat ini sudah tertata pada tempatnya. Hanya menunggu bila suatu saat nanti aku ingin membacanya lagi, entah untuk apa. Mungkin, dan mudah-mudahan chapter-chapter itu adalah penguat goresan tintaku saat ini. Memberi sebuah dasar.

Sejujurnya aku masih belum tahu dan yakin bagaimana harus melanjutkan tulisanku pada chapter baru ini. Karena aku mencoba untuk menuliskan sebuah “buku”. Sebuah buku di halaman buku yang lain. Aturan, norma, batasan dan mungkin kebisuan adalah pertanyaan-pertanyaan yang datang secara bersamaan.

Sunyo ngarep sepi ngguri, ayu slamet sak paran-paranku… saat ini, hanya kalimat ini yang bisa kutawarkan.